Lingkar.co – Pemerintah Kota (Pemkot) melalui Dinas Perdagangan Kota Semarang terapkan pembayaran retribusi pasar menggunakan Sistem QR Code.
Melalui sistem ini, pendapatan retribusi pasar mengalami peningkatan.
Subkoordinator Pendapatan Disdag Kota Semarang, Dwi Adhi Cahyono mengatakan, sistem pembayaran menggunakan QR Code sebenarnya sama yakni masih secara tunai.
Hanya saja, mekanismenya berbeda. Semula menggunakan karcis, kini memakai aplikasi yang tinggal memindai QR Code masing-masing pedagang.
“Ini sebenarnya sudah lama, di Korwil Bulu sudah dua tahun, hanya sekarang lagi validasi data dan perbaikan alat. Mungkin Mei diterapkan. Saya kembangkan di Korwil Johar dan Karangayu,” papar Dwi belum lama ini.
Dwi memaparkan, awalnya QR Code ini untuk pendataan pedagang. Kemudian, QR Code tersebut dikembangkan untuk pembayaran retribusi.
Sistem QR Code ini sudah diterapkan di Pasar Johar sejak April. Dwi menyebut, ada peningkatan retribusi setelah diterapkan sistem ini. Semula pendapatan retribusi sebesar Rp 3 juta per hari, kini menjadi Rp 7 juta per hari.
Adanya peningkatan ini bukan berarti selama ini ada kebocoran. Dia menyampaikan, selama ini kesulitan menarik pedagang yang tidak berjualan. Padahal, barang berada di lapak. Secara aturan, semestinya tetap dikenai retribusi.
Dengan sistem baru, saat juru pungut memindai QR Code, akan keluar struk. Pedagang membayar sejumlah uang yang tertera di struk. Akumulasi retribusi yang belum terbayarkan akan keluar dalam struk.
“Dengan QR code jualan nggak jualan tetap terhutung. Itu sesuai perwal,” katanya.
Begitu keluar struk, lanjut dia, langsung masuk di dashboard admin. Pihaknya terus memantau pergerakan pembayaran retribusi melalui dashboard. Setelah akhir pemungutan, juru pungut melakukam rekap dan menyetor retribusi sesuai rekapan.
Dengan diterapkanya sistem ini, tentu dapat meminimalisasi kebocoran. Selain itu, penarikan retribusi menjadi lebih tertib administrasi.
“Saat pakai karcis, juru pungut nggak ada catatan, kadang absen nggak ada. Dengan sistem ini, saya bisa membuka ini yang belum bayar, ini yang sudah,” katanya.
Diakui Dwi, selama ini target retribusi Disdag tidak mencapai target. Realisasi hanya 50 persen dari target yang ditetapkan pemerintah.
Menurut dia, target yang ditetapkan cukup tinggi. Bahkan, setiap tahun target naik 10 persen. Sementara, potensi retribusi tetap.
Apalagi, dikeluarkannya Perda Nomor 10 Tahun 2023, retribusi naik 20 persen – 30 persen. Sementara, ada penolakan dari para pedagang melalui PPJP dengan alasan pasar sepi.
“Kami ditarget dengan perda baru. Sedangkan, potensinya tetap. Tidak semua pedagang membuka lapak. Tahun ini, taget Rp 40 miliar. Sedangkan, potensi kami kalau pedagang buka semua itu Rp 20 miliar,” terangnya. ***