Lingkar.co – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan No. 62/PUU-XXII/2024 tentang penghapusan ketentuan Presidential Threshold dalam Pemilu 2024.
MK berpendapat bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang ada dalam Pasal 222 UU Pemilu telah membatasi hak politik rakyat dan partai politik.
Pemberlakuan Presidential Threshold menurut MK telah mereduksi hak warga negara untuk memilih dan dipilih, serta bertentangan dengan Pasal A ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang kedaulatan rakyat.
Keputusan tersebut juga dianggap sebagai langkah untuk memperkuat demokrasi di Indonesia dimana lebih banyak partai politik, baik besar maupun kecil kini memiliki kesempatan untuk mengsusung calon presiden mereka sendiri.
Sebelumnya, presidential threshold mewajibkan partai politik untuk memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah nasional dlam pemilu legislatif untuk dapat mengajukan calon presiden.
Meskipun keputusan ini memberikan peluang bagi lebih banyak calon presiden, dampaknya terhadap stabilitas politik, biaya pemilu, dan koalisi partai sangat signifikan.
Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial atau Center for Law and Social Justice (LSJ), Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Markus Togar Wijaya mengatakan, keputusan yang diambil MK saat ini dapat memberikan dampak yang negatif.
Menurutnya, penghapusan presidential threshold nantinya akan melahirkan pemimpin demagog.
“Ini akan berpotensi membuat gelanggang pilpres bisa diisi lebih dari dua calon presiden dan wakil presiden. Artinya, sebagai masyarakat kita dihadapkan pada potensi kemunculan calon pemimpin demagog,” katanya.
Demagog berarti seseorang yang yang pandai mengahsut, memproduksi janji-janji manis, rakus terhadap nafsu kekuasaan daripada akal sehat, dan pandai menjilat.
Menurut Markus, masyarakat perlu mempertajam kecerdasan agar terhindar dari manipulasi calon pemimpin demagog.
“Seorang pemimpin apapun latar belakangnya harus diuji idenya dan ditelusuri latar belakangnya. Dari situ kita bisa mengetahui arah gerak bangsa ini kedepan,” katanya.
Langkah MK tersebut juga tidak akan efektif dalam mengurangi polarisasi.
Menurut Direktur Eksekutif Citra Institut, Yusak Farchan keputusan tersebut akan menimbulkan permasalahan baru.
“Potensi pasangan calon bisa sebanyak jumlah parpol peserta pemilu. Bayangkan jika ada 18 capres-cawapres, kan repot”, katanya.
Menurutnya, semakin banyak pasangan capres-cawapres yang bertarung, peluang terjadinya pemilu presiden dua putaran juga semakin besar.
“Pilpres 2004 dengan jumlah 5 capres saja berlangsung dua putaran. apalagi kalau jumlahnya lebih dari 5 pasangan,” imbuhnya.
Ia menambahkan, jika pilpres berlangsung dua putaran, alasan polarisasi yang disampaikan MK menurutnya kurang tepat.
Karena dalam puataran kedua hanya dua pasangan calon yang dapat bertarung sehingga masyarakat cenderung terbelah dan polarisasi yang ingin dicegah oleh MK berpotensi semakin tajam.
Penulis : Kharen Puja Risma