SEMARANG, JAWA TENGAH, Lingkar.co – Warga Kota Atlas, julukan Kota Semarang, sudah tidak asing lagi dengan nama Tasripin, konglomerat pribumi yang hidup pada era Hindia-Belanda.
Tasripin, lahir pada tahun 1834. Ia hidup sezaman dengan raja gula Semarang, Oei Tiang Hiem.
Pada masa itu, Tasripin, mengembangkan bisnis pabrik kulit hewan ternak, pabrik kapas, kopra hingga properti.
Dari bisnisnya itu, Tasripin, mendulang kekayaan hingga menjadi pribumi kaya raya pada masanya.
Bahkan, untuk pengembangan bisnisnya, Tasripin, membeli sejumlah tanah dari orang-orang Belanda, kala itu.
Bisnis Tasripin yang terkenal, adalah bisnis kulit ternak untuk pemanfaatan pengembangan wayang kulit. Wayang kulit yang dibuatnya, memiliki perpaduan gaya Yogyakarta dengan gaya pesisiran.
Sepenggal kisah itu, terucap dari Muhammad Fachri, generasi ke-6 dari Tasripin, kepada Lingkar.co, yang kembali mendatanginya di Kampung Kulitan, Jalan MT Haryono, Senin (9/8/2021).
SEPENINGGAL TASRIPIN, BISNIS MEREDUP
Fachri bercerita, kakek buyutnya itu wafat 9 Agustus 1919 pada usia 85 tahun. Sepeninggal Tasripin, tak banyak bisnis yang diteruskan keturunannya.
“Kenapa tidak diteruskan keturunannya? Karena permintaan dari Tasripin sendiri. Beliau tidak meminta semua usahanya dijaga, semua ini hanya titipan,” ujarnya.
Namun, Fachri mengatakan, Tasripin hanya minta kepada keturunannya agar mewarisi karakter wirausahanya.
Sejak itu, aset kejayaan Tasripin mulai menyusut dari tahun ke tahun. Meski, sempat salah satu putranya bernama Amat Tasan, meneruskan usaha bisnis kulit.
Namun, kata Fachri, tidak ada kemajuan seperti saat dikelola Tasripin. Padahal, Amat Tasan, dianggap sebagai pengganti Tasripin.
“Saat itu, Amat Tasan digadang-gadang sebagai penerus Tasripin. Amat Tasan tutup usia pada tahun 1937 di usia 72 tahun,” ujarnya.
Setelah Amat Tasan, meninggal, bisnis keturunan Tasripin masih berjalan, meski popularitasnya tak seperti saat masa Tasripin.
Sekira 1950-an, badan usaha bernama Tasriepien Concern masih eksis di Kota Semarang.
TIDAK ADA PERLAKUAN ISTIMEWA
Menurut Fachri, meski keturunan seorang konglomerat, kehidupannya dan semua keturunan Tasripin, normal seperti masyarakat biasa.
Pada zaman serba canggih saat ini, tak ada perlakuan istimewa untuk dirinya dan keluarga lainnya.
“Sekarang tidak ada yang istimewa, sama saja dengan masyarakat pada umumnya,” ujarnya.
“Dulu saat saya SMP ada panggilan khusus. Kalau laki-laki keturunannya Tasripin panggilannya ‘Den Baguse’, kalau perempuan ‘Den Nganten’,” ujarnya lagi.
Selain itu, kata Fachri, keturunan-keturunan Tasripin kerap memakai suku kata “tas” pada nama mereka.
“Pada generasi awal keturunan Tasripin selalu menambahkan kata “Tas” pada namanya. Sebut saja penerus Tasripin, Amat Tasan,” ujarnya.
Contoh lain, kaat Fachri, Tas Sekti misalnya, yang merupakan mertua dari Menteri Agama Republik Indonesia era Orde Baru, Munawir Sjadzali.***
Penulis: Dinda Rahmasari Tunggal Sukma
Editor: M. Rain Daling