Warga Desa Dayu Dilematis di Wilayah Cagar Budaya

KHAWATIR: Papan informasi UU Cagar Budaya yang dipasang Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran terpasang di beberapa titik di Desa Dayu. (PUJOKO/LINGKAR JATENG)
KHAWATIR: Papan informasi UU Cagar Budaya yang dipasang Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran terpasang di beberapa titik di Desa Dayu. (PUJOKO/LINGKAR JATENG)

KARANGANYAR, Lingkar.co – Warga Desa Dayu berada dalam situasi dilema dengan status tanah yang berada di Desa Dayu sebagai situs cagar budaya.   

Warga merasa senang sekaligus tidak senang dengan status cagar budaya tersebut. Gayaman, Desa Dayu, Khoiri mengaku antara senang dan susah berada dalam wilayah cagar budaya.

‘’Senangnya ya malah ada tempat wisata, Museum Dayu. Susahnya, tidak bisa berbuat apa-apa dengan tanah yang kita miliki,” ujarnya.

Khoiri menyampaikan, untuk mengolah tanah milik warga pun, harus sepengetahuan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran yang berada di Kalijambe, Sragen.

Baca juga: Trayek Trans Jateng Masuk Sangiran Tak Efektif

Demikian juga dengan aktifitas lain terkait tanah yang ada pada area sekitar cagar budaya ini misalnya untuk pendirian pabrik dan bangunan warga yang lain.

Png-20230831-120408-0000

Hal ini tentunya sedikit banyak telah membatasi aktivitas warga Dayu tersebut, dan membuat warga terbelenggu dengan dilematis kebijakan yang tidak sepenuhnya menguntungkan warga.

‘’Apalagi kalau mau menjual tanah pada area ini kan sangat tidak boleh. Padahal kepemilikan sertifikat tanahnya juga masih milik warga sendiri,’’ kata Khoiri.

Jika memang benar kebijakan tersbut untuk kesejahteraan warga. Khoiri berharap pemerintah bisa membantu kehidupan warga desa Dayu agar tidak mengeluh tidak adanya pendapatan.

Baca juga: Polres Sragen Pasang Kamera Portabel, Pelanggar Tak Bisa Lagi Mengelak

‘’Dibantu usaha apa misalnya. Membuat sentra apa disini,’’ ujar Khoiri.

Tubi, warga Dusun Tanjung, Dayu juga mengeluhkan keluhan yang sama. Tubi mengaku tidak bisa berbuat banyak dengan kebijakan tersebut.

‘’Kakek saya meninggal tidak bisa membagi tanahnya. Mau menguliahkan anak tidak bisa. Bisanya harus jual tanah, tapi tidak boleh. Kalau punyanya hanya tanah, tapi tidak bisa diapa-apakan terus bagaimana. Hutangnya tambah banyak,’’ pungkas Tubi. (jok/luh)

Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *