Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 13 tahun 2022 tentang perubahan atas peraturan komisi pemilihan nomor 10 tahun 2022 tentang pencalonan perseorangan peserta pemilihan umum anggota dewan perwakilan daerah.
Jika dilihat pada program dan jadwal kegiatan tahapan pencalonan perseorangan peserta pemilihan umum, maka tahapan sekarang yang dihadapi oleh parah calon anggota DPD adalah tahapan verifikasi faktual.
Penulis: Nasarudin Sili Luli (Komisioner Bawaslu Kabupaten Jayapura)
Sayangnya, pada tahapan ini para calon anggota DPD harus bekerja lebih ekstra untk mempersiapkan semua persyaratan pencalonan, pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK) memperketat syarat mantan terpidana menjadi peserta pemilu (anggota DPR, DPRD, DPD dan kepala daerah).
MK memutuskan mantan terpidana tetap dapat mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD setelah menuntaskan masa pidananya dan menunggu atau jeda 5 tahun usai keluar penjara.(sumber Detik.com)
MK memutuskan mengubah sebagian isi Pasal 182 huruf g UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 182 itu sendiri mengatur tentang syarat peserta pemilu untuk anggota DPD alias caleg DPD.
MK menyatakan norma Pasal 182 huruf g UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
- (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
- (ii) Bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana.
- (iii) Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Syarat DPD Sebelumnya
Padahal pada syarat pencalonan anggota DPD Sebelumnya pada Pasal 182 huruf g UU No 7 tahun 2017 berbunyi: tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
MK menyebut sebelumnya dalam salah satu syarat untuk menjadi anggota DPD masih memungkinkan bagi calon anggota DPD dengan status mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri tanpa terlebih dahulu memenuhi pemaknaan sebagaimana diatur dalam putusan MK No 56/PUU-XVII/2019 dan putusan MK No 87/PUU-XX/2022 terkait masa tunggu 5 tahun.
Pada putusan MK sebelumnya baru mengatur syarat masa tunggu 5 tahun bagi mantan terpidana yang mengajukan sebagai calon kepala daerah, anggota DPR, DPRD, sehingga untuk anggota DPD perlu penyelarasan agar konsisten
Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 182 huruf g UU/2017 perlu dilakukan penegasan dan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPD, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagai syarat kumulatif sebagaimana pemaknaan konstitusional bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat 2 huruf g UU 10/2016 dan Pasal 240 ayat 1 huruf g UU 7/2017.
Diskriminatif?
Syarat mantan terpidana bagi calon anggota DPD itu menimbulkan inkonsistensi dan cendrung diskriminatif .
Pertama, karena masih belum sama dengan syarat calon mantan terpidana bagi pemilihan kepada daerah apalagi pemilihan DPR dan DPRD.
Padahal secara prinsip pemilihan anggota DPD sama-sama dipilih langsung oleh rakyat sehingga untuk persyaratan apalagi status mantan terpidana sangat penting disamakan dengan syarat mantan terpidana bagi mantan terpidana calon anggota DPR dan DPRD.
Putusan MK kali ini justru para calon anggota DPD suda masuk pada tahapn verifikasi faktual dan harusnya secara persyaratan administrasi mengenai pencalonan anggota DPD harusnya tidak lagi dipersoalkan.
Kedua, dengan putusan MK diatas maka sangat merugikan bagi para calon anggota DPD, mengapa demikian?
Sebab calon anggota DPD yang sebelumnya dinyatakan memenuhi syarat (MS) menjadi tidak memenuhi syarat (TMS) jika calon anggota DPD tersebut, memang pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik, dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa. Kondisi ini kemudian sangat merugikan bagi calon angoota DPD.
Ketiga, selain itu syarat calon anggota DPD masih terbatas pada hanya mantan terpidana disyaratkan untuk secara terbuka dan jujur mengumumkan statusnya kepada publik.
Belum ada masa jeda lima tahun yang harus dijalani oleh mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Jika kita baca pada pokok pemohon yang diajukan pada MK pemohon mendalilkan jangka waktu lima tahun ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kemudian memberikan ruang bagi mantan terpidana untuk beradaptasi kembali kepada masyarakat untuk kepentingan yang lebih luas.
Padahal perhitungan penerapan jangka waktu sampai 5 (lima) tahun ini menjadi tidak rasional sebab,sejakter pidana selesai menjalani hukumannya merujuk pada ketentuan dasar penerapan pasal dalam atau batas-batas hukum pidana yang berlaku terhadap seseorang, ketika seseorang tersebut ditetapkan sebagai tersangka.
Kemudian terdakwa, dan terpidana sampai dengan selesainya menjalani seluruh pemidanaan (baik pidana pokok dan atau pidana tambahan) atau setelah yang bersangkutan telah menjalani seluruh sanksi-sanksi pidana yang telah ditetapkan oleh hakim.
Sehingga jangka waktu sampai 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, baru dapat diterapkan setelah mantan terpidana menyelesaikan seluruh hukuman, termasuk pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim melalui Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,dengan begitu juga tidak menajdi jaminan bahwah seseorang yang telah selesai menjalani hukuman 5 (lima) tahun kemudian tidak mengulangi lagi hal yang sama.
Ketentuan Pidana
Sebenarnya pada level Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dapat terbaca sangat jelas perbedaan aturan diatas,sebut saja soal syarat dukunagn bagi calon anggota DPD dan syarat keanggotaan partai politik.
Padahal dalam konteks dukungan masyarakat yang dijadikan sebagai objek utama dalam syarat dukunagn dan keanggotaan partai politik, justru pemberlakukan aturan dalam konteks pidana pemilu tidak banyak berpihak kepada para calon anggota DPD dan cendrung seperti di khususkan pasal pidana tidak berlaku bagi persyaratan untuk menjadi keanggotaan partai politik.
Dalam pasal 519 UU/72017 yang berbunyi:Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang ,dengan memaksa,dengan menjanjikan,atau dengan memberikan uang atau materi lainnya untuk memeperoleh dukunagn bagi pencalonan anggota DPD.
Dalam Pasal 520 yang berbunyi “ setiap orang yang dengan segaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk memakai atau menyuru orang lain memakai, atau setiap orang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi DPRD kabupaten/Kota, untuk menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai mana dimaksud dalam pasala 254 dan pasal 260 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.72.000.000.00 (Tujuh puluh dua juta rupiah ).
Padahal, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengaku menemukan lebih dari 20.000 data pribadi warga didaftarkan partai politik sebagai anggota mereka, dalam tahapan verifikasi faktual peserta Pemilu 2024.
Kondisi ini Bawaslu tidak bisa melakukan penindakan ,sebab norma pada pasal 520 hanya mengatur bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi DPRD kabupaten/Kota, untuk menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Norma ini hanya ditemukan pada tahapan soal pencatutan nama orang lain untuk kepentingan keterpenuhan sebagai syarat administrasi keanggotaan partai politik dan hanya ditemukan pada tahapan pendaftaran partai politik.
Jika dilihat lebih mendalam hampir sama mempunyai objek yang sama yaitu,kepentinagn sebagai syarat dukuangn dan keterpenuhan sebagai syarat administrasi keanggotaan partai politik akan tetapi ketentuan pidana hanya disematkan kepada calon para anggota DPD.
Kesimpulan
Pada perkara putusan MK diatas, anehnya Mahkamah pernah merubah pendiriannya pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015, persyaratan soal masa tunggu lima tahun bagi mantan terpidana dan pelaku tindak pidana berulang.
Putusan ini hanya menegaskan persyaratan bagi mantan terpidana untuk secara terbuka dan jujur menyampaikan statusnya sebagaik mantan terpidana kepadapublik.
Putusan ini diberikan kepada permohonan yang mempersoalkan syarat mantan terpidana sebagai calon kepala daerah dalam UU 8/2015 tentang Pilkada, yang menggantikan UU 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah dalam konteks pengaturan Pilkada, yang sebelumnya menjadi objek permohonan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009; 42.
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, Mahkamah memberikan penekankanan dalam konteks tindak pidana yang dilakukan dengan kealpaan (culpa levis) dan tidak pidana politik.
Dua jenis tindak pidana tersebut dikecualikan dalam persyaratan mantan terpidana untuk menjadi kandidat.
Hal ini disebabkan tujuan pembatasan mantan terpidana sebagai calon kepala daerah adalah untuk menggambarkan moralitas dan rekam jejak dari calon tersebut.
Sementara itu, tindak pidana yang bersifat kealpaan dan tindak pidana politik tidak relevan dalam memperlihatkan situasi moralitas seseorang;
Sekali lagi, bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 Mahkamah memperjelas syarat mantan terpidana dengan hukuman pidana yang diancam pidana lima tahun atau lebih, untuk memberlakukan pembatasan kepada mantan terpidana.
Namun, Mahkamah juga mempertimbangkan beberapa delik pidana yang menjadi pengecualian seperti tindak pidana korupsi, terorisme, makar, ancaman terhadap keamanan negara, dan tindakan yang dapat memecah belah persatuan Indonesia,artinya kedepan perluh pengaturan tata ruang regulasi yang lebih adaptatif dan konferhensif untuk mejamin hak warga negara dalam pesta demokrasi dengan berkiblat pada aturan yang berkepastian hukum.
Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil dihadapan hukum dan pemerintah.
Maka setiap lembaga penegak hukum secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik, namun disaat yang bersamaan harus mampu menegakkan (equality before the law) yang tidak hanya slogan yang diucapkan, namun perlu langka aplikastif yang lebih kongkrit.
Semoga para calon anggota DPD menemukan keadilan!*
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps