KARANGANYAR, JAWA TENGAH, Lingkar.co – Pengrajin peti jenazah di Kabupaten Karanganyar mengaku kewalahan dalam menerima banyak pesanan yang datang dari rumah sakit.
Hal ini diungkapkan Yeni (65), salah seorang pemilik toko peti mati yang berada di Kelurahan Lalung, Kecamatan Karanganyar.
Alih-alih senang karena banyak pesanan, Yeni mengaku sedih melihat maraknya kasus kematian yang terjadi akhir-akhir ini.
Baca juga:
Terjadi Antrean Sidang, Peradi Layangkan Protes ke PN Semarang
Sambil meneteskan air mata, Yeni menceritakan kepedihannya sebagai pengrajin peti jenazah yang meladeni pesanan dari pihak rumah sakit tersebut.
Pesanan dari mitra kerjanya tersebut seakan tidak ada hentinya. Sementara kapasitas produksi yang pihaknya lakukan terbatas.
“Yang selesai baru lima peti, langsung saya kirim. Bahkan hari Minggu, anak-anak tidak libur membuat peti. Sebab, yang meninggal harus segera di makamkan,’’ ujar Yeni.
Baca juga:
Indonesia – Rusia Finalisasi Kerja Sama Produksi Vaksin Spuntnik V
Seiring meningkatnya pemesanan, Yeni harus menghadapi dua persoalan sekaligus yaitu minimnya pekerja serta mahalnya harga pembelian kain mori.
Selain memiliki beberapa pekerja yang terdiri dari anak muda, karena kekurangan tenaga, Yeni membayar dua ibu rumah tangga yang ia pekerjakan di bagian finishing.
Harga Tetap Normal Meskipun Ramai Pesanan
Sebagai pengrajin peti jenazah, saat ini Yeni kesulitan dalam menghitung sudah berapa banyak peti dikirim ke RSUD dr Moewardi, mitra kerjanya tersebut.
“Kami buat beberapa ukuran, ada yang ukurannya standar, ada pula yang berukuran besar. Saya tidak tega merasakan kesedihan dengan begitu banyaknya kematian (akibat Covid-19),” terangnya.
Yeni mengaku tidak tega apabila harus menaikkan harga peti mati. Padahal banyak pengrajin peti jenazah seperti Yeni yang berani menaikkan harga peti jenazah mereka di situasi seperti ini.
Baca juga:
Ridwan Kamil Dorong Pengelolaan Sampah di Jawa Barat Berbasis Digital
“Perajin lain menaikkan harga sampai Rp 800 ribu per peti. Ada orang meninggal kok malah dibuat mahal. Kalau saya tetap Rp 450 ribu. Tidak saya dinaikkan,” ungkap Yeni.
‘’Pernah suatu ketika ahli waris sampai menanti lama di rumah sakit karena peti mati belum selesai dibuat. Antriannya panjang. Pedih sekali rasanya hati ini, kasihan,” cerita Yeni.
Sudah belasan tahun ia menggeluti usaha pembuatan peti jenazah tersebut. Namun baru saat pandemi Covid-19 ini Yeni mengaku kerepotan melayani pesanan.
Meski memprioritaskan pesanan dari rumah sakit, namun Yeni tak menolak jika permintaan tersebut datang dari tetangga dekat rumahnya.
Penulis: Pujoko
Editor: Galuh Sekar Kinanthi
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps