PATI, Lingkar.co – Miliki Sejarah yang panjang pada masa perjuangan kemerdekaan, Aryo Dipo Leksono atau yang lebih dikenal Mbah Panggeng perlu kiranya dikenal cerita dan sejarahnya. Singkatnya, beliau merupakan salah satu sembilan Dipo yang ikut membantu pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Ketua Pengelola makam Mbah Panggeng Ahmad Soheh menceritakan bahwa beliau adalah salah satu sembilan Dipo sekaligus murid dan sahabat karib pangeran Diponegoro kala itu. Namun, setelah pangeran Diponegoro tertangkap semua sembilan Dipo akhirnya memutuskan untuk melarikan diri ke berbagai daerah.
“Akhirnya murid-murid kesayangan beliau yang bernama dipo-dipo 9 itu melarikan diri semuanya. Kebetulan ada dua dipo yang larinya ke pesisir utara. Yaitu Diipo Wiro Kusumo dan Dipo Leksono,” paparnya.
Baca Juga:
Wisata Sendang Sani di Pati Simpan Cerita Sunan Bonang hingga Mistik
Terkhusus Mbah Panggeng akhirnya memutuskan menetap di Desa Asempapan. Hal ini didasarkan atas wawasan dan karomah beliau sehingga membawanya sampai di Desa Asempapan.
Singkat cerita, lanjut Soheh, setelah menetap beberapa waktu di Asempapan, kemudian ada sayembara Bupati Pati kala itu untuk membabat alas Pasuscen yang terkenal keangkerannya. Saking angkernya, banyak masyarakat yang tak kembali setelah masuk ke alas tersebut. Kebetulan saat babat alas tersebut beliau bertemu dengan sahabatnya Dipo Wiro Kusumo.
“Bersama sahabatnya membabat alas pasucen yang terkenal sangat angker. Jalmo moro jalmo mati. Siapa yang kesana lewat kesana pasti tidak bisa kembali lagi,” tuturnya saat menggambarkan alas Pasucen.
Pada akhirnya, lanjutnya, Mbah Panggeng dengan sahabatnya berhasil membabat alas Pasucen. Akhirnya wilayah tersebut oleh Bupati Pati diserahkan kepada Mbah Langgeng dan sahabatnya.
Baca Juga:
Sepenggal Sejarah Pintu Gerbang Majapahit, Destinasi Wisata Sejarah di Kabupaten Pati
“Berjalan dengan waktu beliau mempunyai gadis belia yang sangat cantik dan mbah Dipo Wiro Kusumo memiliki anak yang gagah namanya Supadi. Keduanya menikah. Mbah Padi dan mbah Roihanah jadi suami istri,” imbuhnya.
Semenjak saat itu, tanah Pasucen dapat dibuka dengan bagus dan aman. Akhirnya terwujudlah daerah maju dalam perekonomiannya. Selain itu penyebaran Islam juga pesat.
Kemudian, lanjutnya, kejadian itu didengar oleh begal yang disegani waktu itu. Ia bernama Kek Noyo Ireng dengan senjatanya yang dapat berubah menjadi ular Tropong, yang kemudian hari dipendam di Desa Asempapan yang sekarang digunakan untuk makam desa. Dan oleh karenanya dikenal dengan Makam Tropong.
Akhirnya, begal tersebut menyurati Mbah Panggeng, bahwa ia berencana akan merampok rumah Mbah Panggeng. Singkatnya pada hari yang telah ditentukan begal tersebut dapat dikalahkan oleh Mbah Panggeng dan menantunya.
“Akhirnya Kek Noyo Ireng bertobat dan minta ampun kepada mbah panggeng dan mbah supadi. Akhirnya ia dan dan kawan-kawannya masuk Islam kepada mbah panggeng,” tuturnya
Setelah sekian lama akhirnya Mbah Panggeng jatuh sakit dan berwasiat kepada menantunya. Bahwa jika nanti meninggal minta dimakamkan di Desa Asempapan.(lam/lut)
Cerita lokal yg perlu diketahui
Assalamualaikum wr wb,
Setahu saya, pada masa tersebut beberapa keluarga Pangeran Panggeng tinggal di wilayah Tuban-Blora-Margoyoso-Kudus. Tidak heran, Asempapan waktu itu merupakan wilayah strategis untuk tinggal. Kakaknya Pangeran Panggeng tinggal di Kudus dimakamkan dekat makam Sunan Kudus. Kakak iparnya juga tinggal di Blora. Pangeran Panggeng hidup sejaman dengan keluarga (anak-anak) Syekh Ronggokusumo di Ngemplak Kidul, Syekh Mizan di Sumerak Margoyoso, serta Syekh Sofyan di Tunggulrejo Margoyoso-Pati.
Sepenggal kisah hidup yang dilupakan sejarah.
Wallahualam
Kisah di atas itu putra dari siapa