Lingkar.co – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar Penguatan Kampus Kebangsaan di ruang Teaterikal Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Kampus III, Kamis (23/10/2025).
Kegiatan yang diikuti secara hibrid (online dan offline) ini merupakan upaya pemerintah dalam menjaga dan memperkuat deradikalisasi yang marak di media sosial.
Rektor UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. Nizar mengatakan, paham radikal tidak lepas dari pendidikan, namun secara historis sudah terjadi sejak berakhirnya kekhalifahan. Maka dari itu, penguatan kebangsaan telah dilakukan di UIN Walisongo melalui berbagai kegiatan hingga mata kuliah.
Lebih lanjut, ia menerangkan, paham radikal juga tidak bisa lepas dari cara pandang terhadap teks-teks keagamaan. Meski memiliki landasan dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, namun aksi para pelaku kejahatan radikalisme bertentangan dengan ajaran Islam.
Ia kemudian mengutip salah satu ayat yang menunjukkan betapa Islam sangat menghargai jiwa, menghargai kemanusiaan. “Ayatnya jelas, jika membunuh satu orang itu sama seperti membunuh semua manusia,” jelasnya.
Kepala BNPT, Komjen Pol. (Purn) Eddy Hartono, SIK, MH mengungkapkan, sampai sekarang ini berdasarkan penelitian terhadap 721 berkas perkara, terdapat 8 temuan kunci. Pertama radikalisme penyebaran melalui Internet, “Konten-konten ini berisikan tentang propaganda, rekrutmen dan sebagainya,” katanya.
Dari internet, kata dia, para pelaku bisa terpapar paham radikal, menikah (istilah untuk berbaiat pada salah satu paham radikal) hingga tutorial merakit bom. Sebagai contoh, ia mengingatkan kasus ‘Bom Panci’ yang dilakukan oleh eks Pekerja Migran Indonesia atau PMI (istilah dulu, Tenaga Kerja Indonesia atau TKI)
Dalam kesempatan itu, hadir sebagai narasumber salah satu eks Napiter, Firman Arifianto yang mengungkapkan adanya pesantren yang terindikasi berafiliasi dengan pelaku aksi teror. Dirinya mengaku mengikuti kaderisasi terorisme secara langsung karena pesantren tempat dirinya belajar ilmu agama memang terindikasi berafiliasi dengan kelompok tersebut.
Ia menjelaskan, pesantren tersebut telah melakukan pendataan terhadap santri yang akan lanjut belajar di tempat lain. Jika ingin pindah pesantren, maka para santri telah mendapat rekomendasi sejumlah pesantren tujuan. Demikian pula yang sekolah. Hal itu bahkan berlanjut hingga ke perguruan tinggi.
“Kalau di kampus kan ada pembinaan keagamaan, Rohis. Nah dari situlah mereka merekomendasikan ustadz untuk mengisi kajian-kajian, daurah dan sebagainya,” urainya.
Tidak hanya itu, bagi santri yang tidak bisa melanjutkan pendidikan atau memilih kembali ke rumah untuk bekerja, juga sudah terdata untuk mengikuti daurah bagi alumni dan masyarakat dengan ustadz atau murabbi yang sudah ditentukan. (*)
Dirinya juga menjelaskan dirinya peran sebagai jasa penerjemah karena memiliki kecakapan berbahasa Arab yang cukup dan sedikit kemampuan bahasa Inggris. Selama bertugas di Syiria ia mengelola banyak personel jihadis yang memikul senjata.
Dari tugas yang ia terima, dirinya juga menemukan adanya pelanggaran pada bantuan kemanusiaan. Yakni, bantuan yang diberikan tidak hanya untuk korban Kombatan, namun untuk mendukung para jihadis.
Tak lupa dirinya mengingatkan untuk mewaspadai narasi yang biasa digunakan untuk membuat umat Islam tertarik. Yakni tentang adanya Islam karena ada jamaah. Doktrin tersebut nantinya akan mengerut pada jihad atau berjuang menegakkan khilafah.
“Doktrin-doktrin yang diberikan itu pasti tidak jauh dari kejayaan Islam, mengembalikan masa Khalifah, padahal Khalifah itu sudah berakhir setelah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu kan hanya namanya saja yang Khalifah, prakteknya monarchy absolute (kerajaan),” jelasnya. (*)
Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat








