*Oleh
Dianita Solihati
SD 2 Japan, Dawe, Kudus
Implikasi dari SE Mendikbud no.4/2020 membuat sekolah melakukan pembelajaran dari rumah untuk para peserta didik, untuk bisa menghasilkan pembelajaran secara daring maka guru harus memilih model pembelajaran yang tepat agar menjadi pembelajaran yang bermakna. Dalam pidatonya Mendikbud menyebutkan pendidikan yang efektif membutuhkan kolaborasi dari guru, siswa dan orangtua, beliau juga menyebutkan saat pandemi adalah saat yang tepat untuk melakukan inovasi.
Guru dalam tugasnya tidak hanya memiliki kewajiban mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih namun juga melaksanakan tugas administrasi kelas. Guru mengalami beberapa kendala dalam melaksanakan administrasi kelas salah satunya yaitu menganalisis asesmen hasil belajar yang tidak sempat untuk dilakukan secara menual mengingat keterbatasan waktu dan tenaga. Asesmen hasil belajar yang sering disebut oleh siswa sebagai ulangan menjadi sesuatu hal yang menakutkan bagi siswa. Perlu adanya upaya dan inovasi untuk mengubah stigma negatif siswa terhadap ulangan.
Kemampuan siswa dalam beberapa bagian materi pembelajaran dapat dideteksi keberhasilannya dari tiap butir soal dan jawaban yang dapat dipecahkan oleh siswa. Analisis asesmen hasil belajar menjadi acuan guru dalam melakukan tindak lanjut terhadap siswa dan materi yang telah diajarkan. Analisis evaluasi hasil belajar memiliki peranan penting dalam pembelajaran dan harus dikembangkan agar memiliki efektivitas yang tinggi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada bidang pendidikan dan menciptakan pendidikan berbasis Information and Communication Technologies (ICT). Pendidikan berbasis ICT merupakan sarana interaksi yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas, kualitas, produktivitas, serta akses pendidikan. Kualitas pendidikan yang optimal ditandai dengan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan memcahkan masalah.
Permasalahan yang sering dihadapi oleh para pendidik yaitu penalaran dan konsep peserta didik masih rendah. Kajian Nana (2018), menyatakan bahwa “dalam proses belajar mengajar, akan terjadi interaksi antara guru dan siswa, dimana guru menyampaikan informasi untuk dibeirikan kepada siswa berupa transfer konsep melalui ceramah. Sehingga siswa hanya menerima informasi yang diberikan, sedangkan pada zaman sekarang teknologi sudah berkembang pesat sehingga memuntut para pendidik dapat memanfaatkan ternologi terbarukan. Hal ini dikarenakan dalam praktik pembelajaran yang selama ini mereka lakukan bersifat teacher centered. Untuk itu para pendidik perlu mengubah paradigma pembelajaran menuju ke pembelajaran berbasis student centered, baik segi metode, materi, maupun media pembelajaran, yang sejalan dengan era 4.0
Selain itu, mindset guru saat ini harus mengalami transformasi yang bermula guru membuat soal cenderung mengukur kemampuan pada kategori Low of Thinking Skill (LOTs) – Moderate of Thinking Skill (MOts). Pemaparan soal cenderung pada aspek kognitif siswa tentang mengingat, menyebutkan, melengkapi, dan penjelasan sederhana. Kini perlu diubah, siswa diajak menganalisis, memprediksi, berkreasi, mencipta dan lain sebagainya untuk memacu siswa berfikir kritis. Perlu adanya desain inovasi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas pembelajaran
Pangma, Tayraukham, Nuangchale (2009) menjelaskan bahwa IQ yang tinggi bukanlah indikator utama kesuksesan, namun siapa pun yang dapat menghadapi dan melawan masalah dengan bijak, maka akan berhasil. Kemampuan individu dalam menghadapi kesulitan ini disebut Adversity Quotient (AQ) (Afri, 2018; U.S, 2013). AQ mendukung keberhasilan siswa dalam meningkatkan motivasi belajar. Siswa yang memiliki AQ tinggi tentu lebih mampu mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi, namun bagi siswa dengan tingkat AQ lebih rendah cenderung menganggap kesulitan sebagai akhir dari perjuangan dan menyebabkan motivasi dan prestasi belajar siswa menjadi rendah (U.S, 2013).
Proses pembelajaran tidak akan terlepas dari peniliaian (asesmen). Kegiatan asesmen dapat menjadi tolak ukur keberhasilan suatu proses pembelajaran. Maka, seorang guru harus mampu memahami proses penilaian dengan baik sehingga menghasilkan penilaian yang autentik dan dapat transparansi. Hood dan Johnson (Muri Yusuf, 2014), berdasarkan Standards for Educational and Psychological Test berpendapat asesmen mengacu pada berbagai metode yang digunakan untuk mengetahui karakteristik individu, program atau objek. Berbeda menurut Scritchfels (Muri Yusuf, 2014) yang menyatakan asesmen merupakan proses mengumpulkan, mereview dan menggunakan suatu informasi mengenai program pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkkan dan mengembangkan belajar siswa.
Di era milineal, perlu adanya inovasi berbasis teknologi informasi (TI). Solusi pengembangan analisis asesmen hasil belajar berbasis TI adalah dengan menggunakan plickers. Dengan adanya pengembangan ini, guru akan merasa sangat terbantu karena pada plickers setiap siswa memiliki barcode masing- masing sehingga meminimalisir kecurangan dan siswa akan lebih percaya diri dalam menghadapi kesulitan pada saat melaksanakan evaluasi.
Plickers merupakan solusi mengatasi asesmen di era pandemi karena tetap mengedepankan social distanction dan hasil belajar siswa dapat diukur secara valid tana ada campur tangan orang tua dalam mengerjakan soal. Dengan adanya pengembangan ini, guru akan merasa sangat terbantu karena pada plickers setiap siswa memiliki barcode masing- masing sehingga meminimalisir kecurangan. Setelah melaksanakan asesmen hasil belajar berbasis plickers , skor siswa akan langsung tampak pada LCD. Analisis personal dan klasikal siswa juga dapat langsung terlihat pada layar monitor melalui scoresheet sehingga guru dapat dengan mudah menganalisis asesmen hasil belajar siswanya.
Transformasi pengembangan analisis evaluasi hasil belajar berbasis teknologi menggunakan plickers menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan dunia pendidikan yang diidentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam asesmen yang monoton sehingga antusiasme siswa menghadapi kesulitan pada dalam melaksanakan penilaian rendah yang akan berdampak pada motivasi belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian penulis, kontribusi penggunaan plickers dan Adversity Quotient (AQ) secara bersama-sama terhadap variabel motivasi belajar IPS kelas IV yaitu 62,1% dan 37,9% dipengaruhi oleh faktor lain selain penggunaan plickers dan Adversity Quotient (AQ).(*)
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps